Herdi Pamungkas
Hampir seluruh manusia mengaharapkan keturunan yang soleh, taat pada perintah.
Allah dan Rassulnya, berbakti pada kedua orang tua, berakhlak baik pada sesama.
Sebab kesalihan seorang anak bisa menghantar keselamatan kedua orang tuanya dunia dan akhirat.
Kita perhatikan bagaimana ketika Nabi Ibrahim AS. yang telah lama menikah namun belum juga dikurniai seorang anak sehingga dia berdoa kepada Allah SWT. seperti difirmankan dalam ayat berikut;
"Ya Tuhanku, anugerahkanlah kepadaku (seorang anak) yang termasuk orang yang saleh.” (QS. As-Saffat : 100)
"Maka Kami beri kabar gembira kepadanya engan (kelahiran) seorang anak yang sangat sabar (Ismail)." (QS. As-Saffat : 101)
Bahkan setelah lahir anak yang sangat diinginkannya, lalu Allah menguji keimanannya dengan perintah untuk menyembelihnya. Allah SWT. berfirman;
"Maka ketika anak itu sampai (pada umur) sanggup berusaha bersamanya, (Ibrahim) berkata, “Wahai anakku! Sesungguhnya aku bermimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah bagaimana pendapatmu!” Dia
Ismail) menjawab, “Wahai ayahku! Lakukanlah apa yang diperintahkan (Allah) kepadamu; insya Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang yang sabar.” (QS. As-Saffat : 102)
"Maka ketika keduanya telah berserah diri dan dia (Ibrahim) membaringkan anaknya atas pelipis(nya), (untuk melaksanakan perintah Allah)." (QS. As-Saffat : 105)
"Lalu Kami panggil dia, “Wahai Ibrahim!sungguh, engkau telah membenarkan mimpi itu.” Sungguh, demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata. Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar. Dan Kami abadikan untuk Ibrahim (pujian) di kalangan orang-orang yang datang kemudian, (QS. As-Saffat : 106-108)
Hikmahnya dari kisah mulia tersebut bahwa Allah tidak mungkin memberikan perintah yang bisa mencelakai hambanya. Namun justru ujian itu seandainya kita bisa melewatinya dengan baik maka di situlah nilai (tingkat keimanan kita). Ujian itu sendiri hanya diperuntukan agi orang yang beriman. Allah SWT. berfirman;
"Apakah manusia itu mengira bahwa mereka akan dibiarkan (saja) mengatakan: Kami telah beriman, lantas tidak diuji lagi? Sungguh Kami telah menguji orang-orang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan mengetahui orang-orang yang dusta." (QS Al Ankabut: 2-3)
Nabi Ibrahim dan Ismail, karena kesalihan dan ketaatannya kepada Allah SWT. mampu melewati ujian yang sangat berat tersebut. Kita pun perlu berkaca dengan ujian ketaatan ketika kita biasa melakukan salat (tepat waktu) berjamah di masjid tiba-tiba turun hujan atau ada tontonan menarik di TV tepat ketika adzan.
Magrib tiba, apakah kita mesti terus diam dirumah meneruskan nonton ataukah pergi berjamaah di masjid? Disitulah keimanan kita pun terukur.
Begitu pula kesalihan Ismal yang tidak membantah untuk mengingkari perintah. Seandainya kita perintahkan anak kita untuk solat, terkadang ada kemungkinan membantah.
Namun jika seandainya anak tadi sudah terbiasa (memiliki kesalihan) tidaklah perlu diperintah untuk menjalankan ketaatan kepada Allah dia akan segera menuju panggilan iadi(salat).
Pada umumnya orang tua ingin memiliki anak soleh yang dapat menyejukan hatinya. Berbakti, tidak berbuat maksiat, sebagaimana disebutkan dalam firman berikut;
"Dan orang-orang yang berkata, “Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami pasangan kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami)," (QS. Al Furqaan:74)
Ibnu Katsir dalam tafsirnya menjelaskan sebagai berikut; Mereka adalah orang-orang yang memohon kepada Allah agar dikeluarkan dari sulbi mereka keturunan yang taat kepada Allah dan menyembahNya semata, tanpa mempersekutukan-Nya.
Ibnu Abbas mengatakan bahwa mereka ingin memperoleh keturunan yang selalu mengerjakan ketaatan kepada Allah sehingga hati mereka menjadi sejuk melihat keturunannya dalam keadaan demikian, baik di dunia maupun di akhirat.
Al-Hasan Al-Basri pernah ditanya tentang makna ayat ini. Ia menjawab, "Makna yang dimaksud ialah bila Allah memperlihatkan kepada seorang hamba yang muslim istri, saudara, dan kerabatnya yang taat-taat kepada Allah. Demi Allah, tiada sesuatu pun yang lebih menyejukkan hati seorang muslim daripada bila ia melihat anak, cucu, saudara, dan kerabatnya yang taat-taat kepada Allah Swt."
Ibnu Juraij telah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: anugerahkanlah kepada kami istri-istri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami). (QS. Al Furqaan:74) Yakni orang-orang yang menyembah-Mu dengan baik dan tidak menjerumuskan kami ke dalam perbuatan-perbuatan yang dilarang.
Aset hari tua dan setelah meninggal
Anak yang saleh bisa menjadi aset kita pada hari tua dan ketika kita telah meninggalkan dunia. Seandainya orang yang telah sangat anjut berada dalam pemeliharaan anak yang saleh tidaklah mungkin diperlakukan dengan tidak baik.
Tentu mereka akan berakhlak sesuai pentunjuk alquran. Allah SWT. berfirman berikut;
“Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia” (QS. Al Isra: 23).
“Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah: “Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil”.” (QS. Al Isra: 24).
Ketika orang tua telah meninggal dunia dan sudah terputus amalnya (tidak lagi bisa beramal saleh), maka hanya anak salehlah yang menjadi harapan untuk mendoakannya. Seperti disebutkan dalam hadist berikut;
“Jika seseorang meninggal dunia, maka terputuslah amalannya kecuali tiga perkara (yaitu): sedekah jariyah, ilmu yang dimanfaatkan, dan doa anak yang sholeh.” (HR.
Muslim). Wallahu a'lam.
Post a Comment for "Kisah Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail Tentang Qurban"